Politikus Gerindra Tegaskan Tak Ada Dwifungsi dalam UU TNI Baru
Revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang disahkan pada 20 Maret 2025 memicu kontroversi luas di masyarakat. Meski usulan agar prajurit aktif diperbolehkan terlibat dalam kegiatan bisnis sempat diajukan oleh Mabes TNI, namun dalam versi final UU tersebut, larangan bagi prajurit aktif untuk berbisnis tetap dipertahankan.
Larangan Prajurit Berbisnis Tetap Berlaku
Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro, sebelumnya mengusulkan penghapusan Pasal 39 huruf c UU TNI yang melarang prajurit terlibat dalam kegiatan bisnis. Alasannya, banyak prajurit yang mencari penghasilan tambahan, seperti menjadi pengojek daring atau membuka warung, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa larangan tersebut tetap diberlakukan dalam UU yang baru disahkan.
Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi TNI
Revisi UU TNI juga memunculkan kekhawatiran akan kembalinya peran ganda militer (dwifungsi) dalam ranah sipil. Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif, seperti di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, merupakan bentuk dari dwifungsi yang pernah terjadi di masa Orde Baru . Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM juga menyatakan bahwa revisi ini menunjukkan tren mengembalikan peran ganda militer dalam pemerintahan sipil.
Poin-Poin Penting Revisi UU TNI
-
Larangan Berbisnis dan Berpolitik: Prajurit aktif tetap dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis dan politik.
-
Perluasan Jabatan Sipil: Jumlah instansi sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif bertambah dari 10 menjadi 14, termasuk Kejaksaan Agung dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
-
Usia Pensiun Diperpanjang: Usia pensiun prajurit diperpanjang, dengan perwira tinggi bintang empat dapat menjabat hingga usia 63 tahun, dan dapat diperpanjang dua kali melalui Keputusan Presiden.
Dampak Sosial dan Protes Publik
Revisi UU TNI ini memicu protes di berbagai daerah, termasuk di Lampung, tempat pengguna berada. Lebih dari 26.000 orang menandatangani petisi daring menolak revisi tersebut, karena dianggap membuka kembali peran ganda militer dalam pemerintahan sipil dan mengancam prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.